Friday, January 2, 2009

KEBUGARAN RELASI: Manusia - Khaliknya, Sesama Manusia & Ayah - Anak

Di bawah ini adalah kisah nyata tentang satu keluarga yang memiliki kebugaran relasi yang baik dengan Tuhan Yesus. Kebugaran relasi yang baik dengan Tuhan memungkinkan adanya kebugaran relasi yang baik dengan sesama manusia, bahkan melahirkan kebugaran relasi yang perlu ditiru antara sang Ayah dan anaknya.

Suatu malam, sang isteri dipukul dan diperkosa orang yang mengalami kepahitan hidup karena perlakuan rasialis. Kemudian, ia hamil dan melahirkan bayi yang sama sekali tidak diinginkan. Demi nyawa si anak, ia bersedia memaafkan lelaki tersebut.


Martha (35) adalah wanita yang menjadi pembicaraan semua orang. Ia dan suaminya, Peterson, adalah warga kulit putih, tetapi di antara kedua anaknya, ternyata terdapat satu yang berkulit hitam. Hal ini menarik perhatian warga di sekitarnya. Tapi, Martha hanya tersenyum dan berkata bahwa neneknya berkulit hitam dan kakeknya berkulit putih.

Perkataan Martha itu membuat anaknya, Monika, mendapat kemungkinan seperti itu, berkulit hitam. Dan begitulah, meski banyak warga yang tak puas, tapi mereka seperti menemukan jawaban atas kasus Martha.

Musim gugur 2002, Monika yang berkulit hitam terus menerus mengalami demam tinggi. Terakhir, Dr Adely memvonis Monika menderita leukimia. Harapan satu-satunya hanyalah mencari pendonor sumsum tulang belakang yang paling cocok untuknya. Dokter menjelaskan, di antara mereka yang ada hubungan darah dengan Monika merupakan pedonor yang paling cocok. Ia lalu meminta seluruh anggota keluarga Martha berkumpul untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang.

Raut wajah Martha berubah, tetapi tetap saja seluruh keluarga menjalani pemeriksaan. Hasilnya tak satu pun yang cocok. Dokter memberi tahu, dalam kasus seperti Monika ini, mencari pedonor yang cocok sangatlah kecil kemungkinannya. Sekarang hanya ada satu cara yang paling manjur, Martha dan suaminya harus "membuat" anak lagi, dan mendonorkan darah anak itu untuk Monika.

Mendengar usul ini Martha tiba-tiba menjadi panik, dan berkata tanpa suara, "Tuhan... kenapa menjadi begini?" Ia menatap suaminya, sinar matanya dipenuhi ketakutan dan putus asa. Peterson mengerutkan keningnya, berpikir. Dr Adely berusaha menjelaskan pada mereka, banyak orang yang menggunakan cara ini untuk menolong nyawa para penderita leukemia. Lagi pula, cara itu tidak berpengaruh sama sekali terhadap bayi pendonor. Tapi, bukan itu yang dipikirkan Martha. Akhirnya, masih dengan nada bingung, dia memandang Dr Adely, " Biarkan kami memikirkannya dahulu."

Malam kedua, Dr Adely tengah bergiliran tugas, ketika pintu ruangannya di dorong, dan dia melihat pasangan suami-istri tersebut. Martha menggigit bibirnya keras,suaminya Peterson, menggenggam tangannya, dan berkata serius pada Adely, "Kami ingin memberitahumu sesuatu, Tapi harap Anda berjanji untuk menjaga rahasia ini, rahasia kami suami-istri selama beberapa tahun ini." Dokter Adely yang membaca betapa tegangnya pasangan itu, segera mengangguk.

Peterson bercerita. "Sepuluh tahun lalu, Mei 1992. Waktu itu anak kami yang pertama, Eleana, telah berusia 2 tahun. Martha bekerja di sebuah restoran fast food. Setiap hari pukul 10 malam baru ia pulang kerja. Malam itu, turun hujan lebat. Seluruh jalanan telah tiada orang satu pun. Saat melalui suatu parkiran yang tak terpakai lagi, Martha mendengar suara langkah kaki, mengikutinya. Dengan ketakutan, Martha memutar kepala untuk melihat, seorang remaja berkulit hitam tengah berdiri di belakang tubuhnya. Orang tersebut menggunakan sepotong kayu, memukulnya hingga pingsan, dan memperkosanya.

"Saat tersadar, Martha segera berlari, pulang. Malam telah pukul 1 malam. Waktu itu aku bagaikan gila, ke luar rumah mencari orang hitam itu untuk membuat perhitungan. Tapi telah tak ada bayangan orang satu pun. Malam itu kami hanya dapat memeluk kepala masing-masing, menangis menahan kepedihan. Langit sepertinya runtuh!"

Peterson mengisak, dan ia melanjutkan ceritanya dengan tersendat. "Tak lama kemudian Martha mendapati dirinya hamil. Kami merasa sangat ketakutan, kuatir bila anak yang dia kandung merupakan milik orang hitam tersebut. Martha berencana untuk menggugurkannya, tapi aku masih mengharapkan keberuntungan, mungkin anak yang dikandungnya adalah bayi kami, cinta kami. Begitulah, kami ketakutan menunggu beberapa bulan.

"Maret 1993, Martha melahirkan bayi perempuan, dan ia berkulit hitam. Kami begitu putus asa, pernah terpikir untuk mengirim sang anak ke panti asuhan. Tapi mendengar suara tangisnya, kami sungguh tak tega. Terlebih lagi, bagaimanapun Martha telah mengandungnya, ia juga merupakan sebuah nyawa. Apalagi, aku dan Martha merupakan warga Kristen yang taat. (Keluarga yang memiliki kebugaran relasi yang baik dengan Tuhan Yesus). Pada akhirnya kami memutuskan untuk memeliharanya, dan memberinya nama Monika."

Mata Dr Adely juga basah dengan air mata. Pada akhirnya, dia memahami kenapa bagi kedua suami istri tersebut kembali mengandung anak merupakan hal yang sangat mengkuatirkan. Ia berpikir sambil mengangguk-anggukkan kepala, berkata, "Jika demikian, kalian melahirkan 10 anak sekali pun akan sulit untuk mendapatkan donor yang cocok untuk Monika!"

Ia terdiam, memandangai Martha. "Kelihatannya, kalian harus mencari ayah kandung Monika. Barangkali sumsum tulangnya, atau sumsum tulang belakang anaknya ada yang cocok untuk Monika. Tetapi, apakah kalian bersedia membiarkan ia kembali muncul dalam kehidupan kalian?"

"Demi anak ini, aku bersedia berlapang dada memaafkannya. Bila ia bersedia muncul menyelamatkannya. Aku tak akan memperkarakannya," kata Martha.
(Memiliki kebugaran relasi yang baik dengan Tuhan membuahkan kebugaran relasi yang baik pula dengan anak yang tidak diinginkan (Monika) bahkan dengan orang yang memperkosanya). Dr Adely terkejut melihat kedalaman cinta sang ibu.

******

November 2002. Di koran Wayeli termuat berita pencarian seperti ini: 17 Mei 1992, di parkiran mobil ke-5 Wayeli, seorang wanita kulit putih diperkosa oleh seorang kulit hitam. Tak lama kemudian, sang wanita melahirkan seorang bayi perempuan berkulit hitam. Ia dan suaminya tiba-tiba saja harus "dibebani" untuk memelihara anak ini. Sayangnya, sang bayi kini menderita leukemia. Dan ia memerlukan transfer sumsum tulang belakang segera. Ayah kandungnya merupakan satu-satunya penyambung harapan hidupnya. Kami berharap, jika si ayah kandung membaca berita ini, semoga ia bersedia menghubungi Dr. Adely di RS Elisabeth."

Berita pencarian orang ini membuat seluruh masyarakat gempar. Setiap orang membicarakannya. Masalahnya adalah apakah orang hitam ini berani muncul. Padahal jelas ia akan menghadapi kesulitan besar. Jika ia berani muncul, ia akan menghadapi masalah hukum dan ada kemungkinan merusak kehidupan rumah tangganya sendiri. Jika ia tetap bersikeras untuk diam, ia sekali lagi membuat dosa yang tak terampuni.

Begitu berita ini keluar, tanggapan masyarakat begitu menggemparkan. Kotak surat dan telepon Dr Adely bagaikan meledak, kebanjiran surat masuk dan telepon, orang-orang terus bertanya siapakah wanita ini. Mereka ingin bertemu dengannya, berharap dapat memberikan bantuan.

Tetapi Martha menolak semua perhatian mereka, ia tak ingin mengungkapkan identitas sebenarnya, lebih tak ingin lagi identitas Monika sebagai anak hasil pemerkosaan terungkap. Saat itu juga seluruh media penuh dengan diskusi tentang bagaimana cerita ini berakhir. "Jika orang hitam ini berani muncul, akan bagaimanakah masyarakat kita sekarang menilainya? Akankah menggunakan hukum yang berlaku untuk menghakiminya? Haruskah ia menerima hukuman dan cacian untuk masa lalunya, ataukah ia harus menerima pujian karena keberaniannya hari ini?"

Surat kabar Wayeli menulis topik: "Bila Anda orang berkulit hitam itu, apa tindakan yang Anda lakukan?" sebagai bahan diskusi.

Bagian penjara setempat terus berupaya membantu Martha, memberikan laporan terpidana hukuman pada tahun 1992 pada rumah sakit. Dikarenakan jumlah orang berkulit hitam di kota ini hanya sedikit, maka dalam 10 tahun terakhir ini juga hanya sedikit jumlah terhukum berkulit hitam. Apalagi, sebagian telah bebas, dan tak semuanya karena tindak perkosaan. Martha dan Peterson menghubungi beberapa orang ini. Begitu banyak terpidana waktu itu yang bersungguh-sungguh dan antusias untuk memberikan petunjuk. Tapi sayangnya, mereka semua bukanlah orang hitam yang memperkosanya waktu itu.

Tak lama kemudian, kisah Martha menyebar ke seluruh rumah tahanan. Tak sedikit terpidana yang tergerak karena kasih ibu ini, tak peduli mereka berkulit hitam maupun berkulit putih, semua bersukarela mendaftar untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang, berharap dapat mendonorkannya untuk Monika. Tapi tak satu pun pendonor yang memenuhi kriteria di antara mereka.

Berita pencarian ini mengharukan banyak orang. Tak sedikit orang yang bersukarela untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang, untuk mengetahui apakah dirinya memenuhi kriteria. Para sukarelawan semakin lama semakin bertambah, di Wayeli timbullah wabah untuk mendonorkan sumsum tulang belakang. Hal yang mengejutkan adalah kesediaan para sukarelawan ini menyelamatkan banyak penderita leukimia lainnya. Sayang, Monika tidak termasuk penderita yang beruntung.

Martha dan Peterson menantikan dengan panik kemunculan si kulit hitam. Akhirnya dua bulan telah lewat, orang ini tak muncul-muncul juga. Dengan tidak tenang, mereka mulai berpikir, mungkin orang hitam itu telah meninggal dunia. Mungkin ia telah meninggalkan jauh-jauh kampung halamannya. Sudah sejak lama tak berada di Itali. Mungkin ia tak bersedia merusak kehidupannya sendiri, tak ingin muncul. Tapi tak peduli bagaimanapun, asalkan Monika hidup sehari lagi, mereka tak rela untuk melepaskan harapan untuk mencari orang hitam itu.

******

Akhirnya, orang yang dinanti-nantikan muncul

Saat itu berita pencarian juga muncul di Napulese, memporak porandakan perasaan seorang pengelola toko minuman keras berusia 30 tahun. Ia seorang kulit hitam, bernama Ajili.

17 Mei 1992 waktu itu, ia memiliki lembaran paling kelam, merupakan mimpi terburuknya pada malam dimana turun hujan waktu itu. Ia adalah sang peran utama dalam kisah ini. Tak seorangpun menyangka, Ajili yang sangat kaya raya itu, pernah bekerja sebagai pencuci piring panggilan. Dikarenakan orang tuanya telah meninggal sejak ia masih muda, ia yang tak pernah mengenyam dunia pendidikan, terpaksa bekerja sejak dini. Ia yang begitu pandai dan cekatan, bekerja dengan giat demi mendapatkan sedikit uang dan penghargaan dari orang lain. Tapi sialnya, bosnya merupakan seorang rasialis, yang selalu mendiskriminasikannya. Tak peduli segiat apa pun dirinya, selalu memukul dan memakinya.

17 Mei 1992, merupakan ulang tahunnya ke 20, ia berencana untuk pulang kerja lebih awal, merayakan hari ulang tahunnya. Siapa menyangka, di tengah kesibukan ia memecahkan sebuah piring. Sang bos menahan kepalanya, memaksanya untuk menelan pecahan piring. Ajili begitu marah dan memukul sang bos, lalu berlari keluar meninggalkan restoran.

Di tengah kemarahannya ia bertekad untuk membalas dendam pada si kulit putih. Malam dimana turun hujan lebat, tiada seorang pun lewat, dan di parkiran ia bertemu Martha. Untuk membalaskan dendamnya akibat pendiskriminasian, ia pun memperkosa sang wanita yang tak berdosa ini. Tapi selesai melakukannya, Ajili mulai panik dan ketakutan. Malam itu juga ia menggunakan uang ulang tahunnya untuk membeli tiket KA menuju Napulese, meninggalkan kota ini.

Di Napulese, ia bertemu keberuntungannya. Ajili mendapatkan pekerjaan dengan lancar di restoran milik orang Amerika. Kedua pasangan Amerika ini sangatlah mengagumi kemampuannya, dan menikahkannya dengan anak perempuan mereka, Lina, dan pada akhirnya juga mempercayainya untuk mengelola toko mereka. Beberapa tahun ini, ia yang begitu tangkas, tak hanya memajukan bisnis toko minuman keras ini, ia juga memiliki 3 anak yang lucu. Di mata pekerja lainnya dan seluruh anggota keluarga, Ajili merupakan bos yang baik, suami yang baik, ayah yang baik.

Tapi hati nuraninya tetap membuatnya tak melupakan dosa yang pernah dia perbuat. Ia selalu memohon ampun pada Tuhan dan berharap Tuhan melindungi wanita yang pernah dia perkosa, berharap ia selalu hidup damai dan tentram. Tapi ia menyimpan rahasianya rapat-rapat, tak memberitahu seorang pun.

Pagi hari itu, Ajili berkali-kali membolak-balik koran, ia terus mempertimbangkan kemungkinan dirinyalah pelaku yang dimaksud. Sedikit pun ia tak pernah membayangkan bahwa wanita malang itu mengandung anaknya, bahkan beranggung jawab untuk memelihara dan menjaga anak yang awalnya bukanlah miliknya. Hari itu, Ajili beberapa kali mencoba menghubungi nomor telepon Dr Adely. Tapi setiap kali, belum sempat menekan habis tombol telepon, ia telah menutupnya kembali. Hatinya terus bertentangan, bila ia bersedia mengakui semuanya, setiap orang kelak akan mengetahui sisi terburuknya ini, anak-anaknya tak akan lagi mencintainya, ia akan kehilangan keluarganya yang bahagia dan istrinya yang cantik. Juga akan kehilangan penghormatan masyarakat disekitarnya. Semua yang ia dapatkan dengan ditukar kerja kerasnya bertahun-tahun.

Malam itu, saat makan bersama, seluruh keluarga mendiskusikan kasus Martha. Sang istri, Lina, berkata, "Aku sangat mengagumi Martha. Bila aku di posisinya, aku tak akan memiliki keberanian untuk memelihara anak hasil perkosaan hingga dewasa. Aku lebih mengagumi lagi suami Martha, ia sungguh pria yang patut dihormati, tak disangka ia dapat menerima anak yang demikian."

Ajili termenung mendengarkan pendapat istrinya, dan tiba-tiba mengajukan pertanyaan, "Kalau begitu, bagaimana kau memandang pelaku pemerkosaan itu?"
"Sedikitpun aku tak akan memaafkannya! Waktu itu ia sudah membuat kesalahan, kali ini juga hanya dapat meringkuk menyelingkupi dirinya sendiri, ia benar-benar begitu rendah, begitu egois, begitu pengecut! Ia benar-benar seorang pengecut!"

Ajili mendengarkan saja, tak berani mengatakan kenyataan pahit itu pada istrinya. Malam itu, anaknya yang baru berusia 5 tahun begitu rewel tak bersedia tidur. Untuk pertama kalinya Ajili kehilangan kesabaran dan menamparnya. Sang anak sambil menangis berkata, "Kau ayah yang jahat, aku tak mau peduli kamu lagi. Aku tak ingin kau menjadi ayahku!"

Hati Ajili bagai terpukul keras mendengarnya. Ia pun memeluk erat-erat sang anak, "Maaf, ayah tak akan memukulmu lagi. Ayah yang salah, maafkan ayah ya..."
Ajili pun tiba-tiba menangis. Sang anak terkejut dibuatnya, dan buru-buru berkata, "Baiklah, kumaafkan. Guru TK-ku bilang, anak yang baik adalah anak yang mau memperbaiki kesalahannya."

Malam itu, Ajili tak dapat terlelap, merasa dirinya bagaikan terbakar dalam neraka. Di matanya selalu terbayang kejadian malam berhujan deras itu, dan bayangan sang wanita. Ia sepertinya dapat mendengarkan jerit tangis wanita itu. Tak henti-hentinya ia bertanya pada dirinya sendiri: "Aku ini sebenarnya orang baik, atau orang jahat?" Mendengar bunyi napas istrinya yang teratur, ia pun kehilangan seluruh keberaniannya untuk berdiri.

Hari kedua, ia hampir tak tahan lagi rasanya. Istrinya mulai merasakan adanya ketidakberesan pada dirinya, memberikan perhatian padanya dengan menanyakan apakah ada masalah. Dan ia mencari alasan tak enak badan untuk meloloskan dirinya. Pagi hari di jam kerja, sang karyawan menyapanya ramah. "Selamat pagi, manager!" Mendengar itu, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat pasi, dalam hati dipenuhi perasaan tak menentu dan rasa malu. Ia merasa dirinya hampir menjadi gila. Setelah berhari-hari memeriksa hati nuraninya, Ajili tak dapat terus diam , ia pun menelepon Dr Adely. Ia berusaha sekuat tenaga menjaga suaranya supaya tetap tenang, "Aku ingin mengetahui keadaan anak malang itu." Dr Adely memberitahunya, keadaan sang anak sangat parah.
Dr Adely menambahkan kalimat terakhirnya, "Entah apa ia dapat menunggu hari kemunculan ayah kandungnya."

Munculnya KEBUGARAN RELASI antara AYAH dan ANAK

Kalimat terakhir ini menyentuh hati Ajili yang paling dalam, suatu perasaan hangat sebagai ayah mengalir keluar, bagaimanapun anak itu juga merupakan darah dagingnya sendiri! Ia pun membulatkan tekad untuk menolong Monika.

Ia telah melakukan kesalahan sekali, tak boleh kembali membiarkan dirinya meneruskan kesalahan ini. Malam hari itu juga, ia pun mengobarkan keberaniannya sendiri untuk memberitahu sang istri tentang segala rahasianya. Terakhir ia berkata, "Sangatlah mungkin bahwa aku adalah ayah Monika! Aku harus menyelamatkannya!"

Lina sangat terkejut, marah dan terluka, mendengar semuanya, ia berteriak marah, "Kau PEMBOHONG!" Malam itu juga ia membawa ketiga anak mereka, dan lari pulang ke rumah ayah ibunya. Ketika ia memberitahu mereka tentang kisah Ajili, kemarahan keduasuami-istri tersebut dengan segera mereda.

Mereka adalah dua orang tua yang penuh pengalaman hidup, mereka menasehatinya, "Memang benar, kita patut marah terhadap segala tingkah laku Ajili di masa lalu. Tapi pernahkah kamu memikirkan, ia dapat mengulurkan dirinya untuk muncul, perlu berapa banyak keberanian besar. Hal ini membuktikan bahwa hati nuraninya belum sepenuhnya terkubur.

"Apakah kau mengharapkan seorang suami yang pernah melakukan kesalahan tapi kini bersedia memperbaiki dirinya? Ataukah seorang suami yang selamanya menyimpan kebusukan ini didalamnya?"
Mendengar ini Lina terpekur beberapa lama. Pagi di hari kedua, ia langsung kembali ke sisi Ajili, menatap mata sang suami yang dipenuhi penderitaan. Lina menetapkan hatinya, "Ajili, pergilah menemui Dr Adely! Aku akan menemanimu!"

******

3 Februari 2003, suami istri Ajili, menghubungi Dr Adely. 8 Februari, pasangan tersebut tiba di RS Elisabeth, demi untuk pemeriksaan DNA Ajili. Hasilnya Ajili benar-benar adalah ayah Monika.

Ketika Martha mengetahui bahwa orang hitam pemerkosanya itu pada akhirnya berani memunculkan dirinya, ia pun tak dapat menahan air matanya. Sepuluh tahun ini ia terus memendam dendam kesumat terhadap Ajili, namun saat ini ia hanya dipenuhi perasaan terharu.

Segalanya berlangsung dalam keheningan. Demi untuk melindungi pasangan Ajili dan pasangan Martha, pihak RS tidak mengungkapkan dengan jelas identitas mereka semua pada media, dan juga tak bersedia mengungkapkan keadaan sebenarnya, mereka hanya memberitahu media bahwa ayah kandung Monika telah ditemukan.

Berita ini mengejutkan seluruh pemerhati kabar ini. Mereka terus-menerus menelepon, menulis surat pada Dr Adely, memohon untuk dapat menyampaikan kemarahan mereka pada orang hitam ini, sekaligus penghormatan mereka padanya. Mereka berpendapat, "Barangkali ia pernah melakukan tindak pidana, namun saat ini ia seorang pahlawan!"

10 Februari, kedua pasangan Martha dan suami memohon untuk dapat bertemu muka langsung dengan Ajili. Awalnya Ajili tak berani untuk menemui mereka, namun pada permohonan ketiga Martha, ia pun menyetujui hal ini.

18 Februari, dalam ruang tertutup dan dirahasiakan di RS, Martha bertemu langsung dengan Ajili. Saat ia melihat Martha, langkah kakinya terasa sangatlah berat, raut wajahnya memucat. Martha dan suaminya melangkah maju, dan mereka bersama-sama saling menjabat tangan masing-masing, sesaat ketiga orang tersebut diam, tanpa suara menahan kepedihan, sebelum akhirnya air mata mereka bersama-sama mengalir. Lalu, dengan suara serak Ajili sesenggukkan,
"Maaf... mohon maafkan aku! Kalimat ini telah terpendam dalam hatiku selama 10 tahun. Hari ini akhirnya aku mendapat kesempatan untuk mengatakannya langsung kepadamu."

"Terima kasih, kau dapat muncul. Semoga Tuhan memberkati, sehingga sumsum tulang belakangmu dapat menolong putriku?", ujar Martha

19 Februari, dokter melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang Ajili. Untungnya, sumsum tulang belakangnya sangat cocok bagi Monika! Sang dokter berkata dengan antusias, "Ini suatu keajaiban!"
22 Februari 2003, setelah sekian lama, harapan masyarakat luas akhirnya terkabulkan. Monika menerima sumsum tulang belakang Ajili, dan pada akhirnya Monika telah melewati masa kritis. Satu minggu kemudian, Monika boleh keluar RS dengan sehat walafiat.


Martha dan suami memaafkan Ajili sepenuhnya, dan secara khusus mengundang Ajili dan Dr Adely datang ke rumah mereka untuk merayakannya. Tapi hari itu Ajili tidak hadir, ia memohon Dr Adely membawa suratnya bagi mereka.

Dalam suratnya ia menyatakan penyesalan dan rasa malunya. "Aku tak ingin kembali mengganggu kehidupan tenang kalian. Aku berharap Monika berbahagia selalu hidup dan tumbuh dewasa bersama kalian. Bila kalian menghadapi kesulitan bagaimanapun, harap hubungi aku. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu kalian! Saat ini juga, aku sangat berterima kasih pada Monika, dari dalam lubuk hatiku terdalam, dialah yang memberiku kesempatan untuk menebus dosa. Dialah yang membuatku dapat memiliki kehidupan yang benar-benar bahagia di separuh usiaku selanjutnya. Ini adalah hadiah yang ia berikan padaku!"

Thursday, December 11, 2008

“ Unlock Your Self Improvement Power”

When we look at a certain object, a painting for example – we won’t be able to appreciate what’s in it, what is painted and what else goes with it if the painting is just an inch away from our face. But if we try to take it a little further, we’ll have a clearer vision of the whole art work.

We reach a point in our life when we are ready for change and a whole bunch of information that will help us unlock our self improvement power. Until then, something can be staring us right under our nose but we don’t see it. The only time we think of unlocking our self improvement power is when everything got worst. Take the frog principle for example-

Try placing Frog A in a pot of boiling water. What happens? He twerps! He jumps off! Why? Because he is not able to tolerate sudden change in his environment – the water’s temperature. Then try Frog B: place him in luke warm water, then turn the gas stove on. Wait til the water reaches a certain boiling point. Frog B then thinks “Ooh… it’s a bit warm in here”.

People are like Frog B in general. Today, Anna thinks Carl hates her. Tomorrow, Patrick walks up to her and told her he hates her. Anna stays the same and doesn’t mind her what her friends says. The next day, she learned that Kim and John also abhors her. Anna doesn’t realize at once the importance and the need for self improvement until the entire community hates her.

We learn our lessons when we experience pain. We finally see the warning signs and signals when things get rough and tough. When do we realize that we need to change diets? When none of our jeans and shirts would fit us. When do we stop eating candies and chocolates? When all of our teeth has fallen off. When do we realize that we need to stop smoking? When our lungs have gone bad. When do we pray and ask for help? When we realize that we’re gonna die tomorrow.

The only time most of us ever learn about unlocking our self improvement power is when the whole world is crashing and falling apart. We think and feel this way because it is not easy to change. But change becomes more painful when we ignore it.

Change will happen, like it or hate it. At one point or another, we are all going to experience different turning points in our life – and we are all going to eventually unlock our self improvement power not because the world says so, not because our friends are nagging us, but because we realized its for our own good.

Happy people don’t just accept change, they embrace it. Now, you don’t have to feel a tremendous heat before realizing the need for self improvement. Unlocking your self improvement power means unlocking yourself up in the cage of thought that “its just the way I am”. It is such a poor excuse for people who fear and resist change. Most of us program our minds like computers.

Jen repeatedly tells everyone that she doesn’t have the guts to be around groups of people. She heard her mom, her dad, her sister, her teacher tell the same things about her to other people. Over the years, that is what Jen believes. She believes its her story. And what happens? Every time a great crowd would troop over their house, in school, and in the community – she tends to step back, shy away and lock herself up in a room. Jen didn’t only believed in her story, she lived it.

Jen has to realize that she is not what she is in her story. Instead of having her story post around her face for everyone to remember, she has to have the spirit and show people “I am an important person and I should be treated accordingly!”

Self improvement may not be everybody’s favorite word, but if we look at things in a different point of view, we might have greater chances of enjoying the whole process instead of counting the days until we are fully improved. Three sessions in a week at the gym would result to a healthier life, reading books instead of looking at porns will shape up a more profound knowledge, going out with friends and peers will help you take a step back from work and unwind. And just when you are enjoying the whole process of unlocking your self improvement power, you’ll realize that you’re beginning to take things light and become happy.


Wednesday, December 10, 2008

Ketika Ibu Telah Menjadi Tua

Seorang ibu tua bersama seorang anak laki-lakinya yang sudah beranjak dewasa sedang duduk di sofa ruang tamu rumah mereka. Mereka berbincang-bincang ceria tentang kehidupan yang telah mereka lalui selama itu.
Ketika asyik berbincang-bincang, sang ibu melihat seekor burung gereja terbang dan hinggap di pagar halaman rumah mereka, dan ibu pun bertanya pada anaknya: "Nak, apa itu?" Sang anak menjawab dengan lembut: "Oh, itu burung gereja, Ma." Mereka pun melanjutkan perbincangan mereka, dan tak lama kemudian sang ibu bertanya pula: "Nak, apakah itu?" Sang anak menjawab: "Mama, saya kan sudah bilang, itu burung gereja." Namun tak lama setelah itu, sang ibu bertanya untuk yang ketiga kalinya:"Nak, apakah itu?" Mendengar pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya dari ibunya, sang anak rupanya kehilangan kesabarannya dan menjawab dengan nada keras: "Mama! sudah tiga kali ini mama bertanya hal yang sama, dan aku sudah menjawab tiga kali bahwa itu adalah burung gereja!"
Sang ibu tersenyum, lalu beranjak masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian, ia kembali menemui anaknya di sofa di mana mereka berbincang-bincang sambil membawa sebuah buku diari tua di tangan keriputnya.
Sambil tersenyum, sang ibu terus membuka lembar demi lembar diarinya, seolah dirinya terhanyut pada masa-masa menyenangkan di masa lalu.
Ketika tiba di suatu halaman diarinya, sang ibu mulai membaca dengan bersuara.
"Hari ini, aku bahagia sekali, bisa duduk bersama anak laki-lakiku di sofa ruang tamu rumahku. Kami bercanda, bercengkrama seolah tiada hari yang lebih menyenangkan selain hari itu. Aku mendongeng cerita kesukaan anakku, dan ia dengan menggemaskan serius mendengarkan dongeng yang aku ceritakan. Oh ya, anakku sekarang sudah berumur 3 tahun. Dia adalah anak yang cerdas dan pintar. Dia selalu ingin tahu akan hal yang baru dilihatnya. Seperti hari ini, saat aku tengah bercerita, tiba-tiba seekor burung terbang dan hinggap di pagar halaman rumahku. Anakku tiba-tiba berdiri dan berlari ke jendela sambil bertanya: "Mama, apa itu?" Aku mengatakan padanya bahwa itu adalah burung gereja. Tak lama setelah itu ia menanyakan hal yang sama, dan aku menjawab dengan sabar setiap pertanyaan yang sama, yang ditanyakannya padaku. Dan hari ini, anakku bertanya tentang burung gereja sebanyak 25 kali."
Ketika mendengar ibunya membaca diari yang ditulisnya 30 tahun lalu, sang anak segera menyadari kesalahannya, dan segera berlari dan berlutut di depan sang ibu sambil meminta maaf padanya.
Sang ibu dengan arif, membelai kepala anaknya dengan lembut dan berkata: "Nak, mama selalu memaafkan engkau disaat engkau melakukan kesalahan, sekalipun engkau tidak mengatakannya padaku. Apa yang engkau pelajari hari ini, ajarkan pada anak-anakmu tentang arti kasih sayang orang tua."

Bagaimana sikap kita kepada orang tua kita, ketika mereka telah mulai lanjut usia? Bukankah kita seringkali kehilangan kesabaran dalam menghadapi mereka, dan kita sering merasa direpotkan oleh mereka?
Sahabatku, kita seringkali melakukan hal-hal itu pada orang tua kita, entah kita sadar atau tidak melakukannya. Mulai saat ini, kita harus benar-benar belajar untuk mengasihi mereka, seperti mereka telah mengasihi kita di saat kita masih lemah dan tidak berdaya dalam menjalani kehidupan ini. Ingatlah, bahwa suatu saat nanti, kita pun akan menjadi orang tua seperti mereka.

Thursday, December 4, 2008

Emotions & Disease

The medical world admits that 75% to 85% of all disease is stress-related. That would make most diseases emotionally rooted, wouldn't it? If God tells us to be "anxious for nothing." Should we be? Can He bless us if we continue to disobey without even a heart to make an effort to change? Do we believe the world's "go-go/run-run" instead of Him...and thereby reap the consequences of it? If God gives us a command should we obey it? If we do not, aren't there natural consequences?

So when we beg God for healing and it doesn't come ... is it because we have" asked" to be sick and weak? In Deuteronomy God gave a choice of being blessed or being cursed. Do we make the choices for the curses and expect the blessings? Is God's Word true and is He unchangeable - the same today, yesterday and tomorrow? Scripture tells us that He will show mercy where He will show mercy, so there can always be exceptions, but basically as I see it, He has set the world up and it works the way He ordained it to do so.

As Pastor Henry Wright puts it in the book, "A More Excellent Way," "It isn't that God cannot heal, it's an issue that He can't do it without denying His own holiness and giving us a leavened gospel that would say we can keep our sin and receive His blessings."

I've been reading Dean Ornish's book, "Love and Intimacy" which mentions all the research that has been done with heart disease, and other health issues, and the link between relationships and the emotional side of health. When they studied this, all of the "environmental" factors didn't even count. If somebody had a meaningful, loving relationship (and the more they had the better the odds), then their prognosis ended up so much better (like 6X) than those without. And the amazing part of it was that it crossed the boundaries of the co-factors of smoking, diet, drinking, exercise, etc.

As I read I thought of what the Bible says: "the greatest of these is love" and "love covers a multitude of sins" (diet, toxins, etc.). VERY intriguing! I thought about the environmental factors in regards to cancer, allergies and the diseases of our present age. If the toxins are the key, then why doesn't EVERYBODY have the diseases from it? Why do some people seem to slip right on through without the health problems?

The studies show that where diet (junk) enters, so does disease ... but is that because the nutrient deficiencies make us addicted, messes with our blood sugar, and changes our mood and personalities?

Or is it the other way around? Do we eat the junk because of a love hunger and hatred for our own body? That's what Dr. Ornish mentioned. You can tell people how much difference changing the diet makes, but unless the person loves himself, he doesn't have any motivation to leave what he does love behind - the junk food.

Think about it!